Tantangan Korupsi Lintas Batas Negara

JAKARTA, KOMPAS - Masyarakat Ekonomi ASEAN yang mulai berlaku 31 Desember 2015 menemukan peluang ekonomi yang begitu besar. Namun, integrasi ekonomi kawasan itu juga membuka peluang korupsi lintas negara, baik yang melibatkan pejabat publik maupun swasta. Siapkah negara ASEAN menghadapi tantangan itu?

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) memungkinkan perpindahan barang, jasa, manusia, dan modal menjadi begitu cepat di antara negara-negara anggota ASEAN. Wadah integrasi ekonomi 10 negara Asia Tenggara itu memiliki empat pilar, yakni pasar tunggal dan basis produksi, ekonomi regional yang kompetitif, pembangunan ekonomi yang berkeadilan, serta integrasi dalam ekonomi global.

Jika ASEAN dilihat sebagai entitas tunggal ekonomi, kekuatannya luar biasa besar. ASEAN memiliki 622 juta penduduk dengan pasar mencapai 2,6 triliun dollar Amerika Serikat. MEA disebut dalam laman daring resmi ASEAN sebagai kekuatan ekonomi terbesar ketiga di Asia dan kekuatan ekonomi ketujuh terbesar di dunia. Namun, MEA tidak sempurna.

”Dari indeks persepsi korupsi terlihat bahwa korupsi masih menjadi masalah bersama kawasan ASEAN,” kata Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata dalam sesi diskusi Pencegahan Penyuapan Lintas Batas Negara dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN, yang menjadi bagian dari rangkaian acara International Business Integrity Conference di Jakarta, Rabu (16/11).

Argumentasi Marwata bukan tanpa landasan. Dilihat dari Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2015 yang diluncurkan Transparency International, nilai yang didapat negara-negara anggota ASEAN bervariasi. Singapura berada di posisi teratas dengan nilai 85 dari nilai maksimal 100 dengan peringkat global 8. Indonesia ada di posisi keempat di ASEAN dengan nilai 36, di bawah Malaysia yang mendapat skor 50 dan Thailand dengan skor 38.

Rata-rata skor IPK 2015 ASEAN juga terbilang tak terlalu baik dibandingkan dengan kawasan lain di dunia. Nilai rata-rata ASEAN ialah 40, berada di bawah rata-rata kawasan Asia Pasifik yang sekitar 43, atau bahkan juga di bawah rata-rata negara anggota G-20 yang skornya 54. Indonesia masuk dalam G-20, negara dengan kekuatan ekonomi 20 besar dunia.

Menurut Marwata, pergerakan bebas barang, jasa, dan arus modal akibat makin terbukanya perbatasan negara-negara anggota organisasi regional Asia Tenggara itu memungkinkan kejahatan, termasuk korupsi, lintas negara meningkat. Dia terutama menyoroti praktik suap lintas negara. Tak hanya itu, bisa pula uang hasil tindak pidana dibawa ke negara lain, lalu diinvestasikan di negara itu. Tak jarang pula ketiadaan kerja sama ekstradisi jadi stimulus transaksi korupsi di negara tertentu ASEAN oleh warga negara tertentu.

KPK pernah menangani kasus korupsi yang melibatkan mantan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini. Marwata menceritakan, Rudi menerima uang dalam bentuk valuta asing melalui perantara di Singapura. Hal serupa dilakukan Suroso Atmo Martoyo, mantan Direktur Pengolahan Pertamina. Dia menerima uang di Singapura melalui perusahaan yang didirikannya di Singapura. Marwata meyakini, praktik-praktik semacam ini masih terus terjadi. Dia menduga, hal ini karena Indonesia dan Singapura tidak punya perjanjian kerja sama ekstradisi.

”Ke depan, ASEAN perlu punya persamaan persepsi dalam banyak hal, termasuk bagaimana menangani korupsi di kawasan ini. Kami khawatir ada ketentuan yang berbeda (antarnegara) yang bisa menyulitkan,” ujar Marwata.

Harapan akan adanya kerja sama lintas negara yang lebih baik juga diungkapkan sejawat Marwata di Malaysia Anti Corruption Commission (MACC). Direktur Intelijen MACC Datuk Seri Ahmad Khusari Yahya yang juga berbicara dalam forum itu mengatakan, kasus korupsi akan menjadi semakin kompleks. Koruptor kini tidak lagi membawa uang tunai dalam jumlah besar ke luar negeri, tetapi cukup membawa sehelai kertas yang bisa ditukarkan ke penukaran valuta asing.

 

Kendati kerja sama antarnegara itu dibutuhkan, kata Khusari Yahya, perbedaan sistem hukum antarnegara juga punya pengaruh. Dia mencontohkan, Malaysia bisa dengan mudah menggelar operasi bersama dengan institusi anti rasuah di Brunei karena undang-undangnya sama. Hal yang sama tak semudah itu dilakukan dengan Indonesia.

”Contohnya di Indonesia, KPK belum boleh investigasi sektor swasta, sedangkan kami sudah bisa menginvestigasi sektor swasta karena mereka menjalankan aktivitas ilegal (korupsi),” ucapnya.

John Coyne dari United Nations Office of Drugs and Crime (UNODC) mengingatkan, kerja sama juga harus dilakukan tidak hanya antarnegara, tetapi juga antara sektor privat dan sektor publik. Kerja sama dengan perusahaan-perusahaan swasta untuk bisa membantu melaporkan kejahatan finansial dan suap bisa membantu penegak hukum.

Komitmen

Natalia Soebagjo, Ketua Dewan Pengurus Transparency International Indonesia (TII), mengingatkan, suap lintas negara bukan sesuatu yang abstrak atau hanya terkait dengan urusan bisnis dan ekonomi semata. Menurut dia, suap lintas negara itu juga berdampak pada berbagai sendi kehidupan masyarakat, baik dari sisi politik maupun sosial. Karena itu, dia mendorong pengembangan metode dan alat untuk menghadapi kemungkinan munculnya bentuk baru korupsi ketika ekonomi sudah lebih terintegrasi.

”Dalam kasus ini, kolaborasi negara-negara ASEAN sangat vital. TII mendorong pembentukan ASEAN Integrity Community. Tujuannya untuk menyatukan anggota ASEAN dalam satu visi,” kata Natalia.

ASEAN Integrity Community itu terdiri dari beberapa elemen, yakni komitmen dari ’atas’, adanya badan regional, prioritas dan rencana realistis, sumber daya dan dukungan, serta komunikasi dan pengetahuan. Menurut Natalia, yang paling utama dan perlu jadi prioritas ialah membangun kesadaran bahwa korupsi itu merusak pembangunan. Ini hanya mungkin terjadi jika ada ruang terbuka untuk membicarakannya.

”Di Indonesia, korupsi itu bisa dibicarakan dengan begitu terbuka. Namun, ini bukan ’kemewahan’ yang semua negara lain di ASEAN punya,” katanya mengingatkan. (ANTONY LEE)