BISNIS TANPA KORUPSI. SAATNYA BERTINDAK SEKARANG.
Kasus korupsi yang melibatkan BUMN/swasta masih sering mewarnai pemberitaan media massa di Indonesia. Kasus korupsi tersebut tidak hanya dilakukan oleh pejabat BUMN/swasta level rendah, namun dilakukan oleh level direksi perusahaan dengan penguasaan pasar terbesar di Indonesia.
Kasus mutakhir adalah Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Direktur Utama PT. PAL Indonesia (Persero). OTT ini dilakukan atas dugaan adanya kickback atas pengadaan kapal PT. PAL Indonesia (Persero) ke Filipina. Sebelumnya, kasus korupsi KTP-elektronik telah menyeret konsorsium PNRI, LEN, dan Sucofindo dalam kasus korupsi terbesar yang ditangani KPK. Di Industri penerbangan, mantan Dirut Garuda Indonesia juga ditetapkan tersangka atas kasus korupsi pengadaan turbin pesawat terbang.
"Korupsi dan suap adalah risiko bisnis lintas negara. Dalam rantai suplai global, Indonesia tidak hanya berpeluang untuk mengimpor korupsi dari negara mitra bisnisnya di luar negeri, namun juga mengekpor korupsi kepada mitra bisnisnya di luar negeri." ungkap Dadang Trisasongko, Sekjend Tranparency International Indonesia.
Sebenarnya bagaimana anatomi pengelolaan program antikorupsi di BUMN/Swasta di Indonesia? Transparency International Indonesia mengkaji standard pelaporan antikorupsi terhadap 100 perusahaan terbesar di Indonesia. Kajian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi penegak hukum untuk menilai kesiapan perusahaan untuk mencegah pidana korupsi pasca terbitnya Perma 13/2016 Tentang Pemidanaan Korporasi.
Dalam hal komitmen publik, mayoritas perusahaan memiliki komitmen publik yang jelas mengenai antikorupsi. Hanya 20 perusahaan komitmen publik yang kurang jelas mengenai antikorupsi. Selain itu, komitmen level pucuk pimpinan perlu menjadi perhatian, sebanyak 68 pemimpin perusahaan tidak secara tegas menyampaikan komitmen publik terhadap antikorupsi.
Terkait dengan kode perilaku dan kebijakan antikorupsi, mayoritas perusahaan memiliki kode etik yang secara jelas berlaku bagi semua karyawan dan direksi, namun masih terdapat 37 perusahaan yang tidak secara tegas memberlakukan kode perilaku bagi semua karyawan dan direksi. Sebanyak 71 perusahaan tidak memiliki kebijakan yang melarang pemberian uang pelicin (facilitation payment) dan 58 perusahaan tidak memiliki kebijakan tentang pelarangan/keharusan mengungkap donasi politik.
Dalam kaitan dengan relasi bisnis, pengelolaan sistem integritas vendor harus menjadi perhatian serius. Sebanyak 71 perusahaan tidak secara tegas memberlakukam program anti korupsi bagi bukan karyawan, tetapi bertindak atas nama perusahaan. Sebanyak 66 perusahaan tidak secara tegas memberlakukan program antikorupsi bagi penyedia barang dan jasa.
Terkait dengan pelatihan antikorupsi, sebanyak 74 perusahaan tidak memiliki pelatihan antikorupsi bagi karyawan dan direksi. Terkait akuntabilitas dan transparansi program anti korupsi, 55 perusahaan tidak memantau program antikorupsinya.
Untuk kanal pelaporan korupsi, mayoritas 56 perusaahaan tidak memberikan kanal yang memungkinkan karyawan dan pihak lain melaporkan pelanggaran korupsi tanpa adanya risiko pembalasan. Hanya 30 Perusahaan yang tidak memiliki whistleblowing dan memungkinkan pelaporan bersifat rahasia (anonim).
"Program antikorupsi di BUMN/swasta penting agar pertumbuhan ekonomi Indonesia berkualitas. Program antikorupsi mendesak diterapkan untuk memastikan proyek strategis pemerintahan Jokowi terlaksana tanpa bancakan politisi, birokrat, penegak hukum, dan pebisnis korup." pungkas Dadang Trisasongko, Sekjend Tranparency International Indonesia.
Oleh karena itu Transparency International Indonesia merekomendasikan 5 (lima) langkah menghentikan ekspor-import korupsi Indonesia.
1. Perusahaan harus secara tegas melarang facilitation payment (uang pelicin). Uang pelicin termasuk dalam kategori suap. Perusahaan harus memberlakukan pelarangan uang pelicin sama dengan upaya perusahaan mencegah penyuapan (bribery).
2. Perusahaan harus mengungkap informasi donasi politik. Perusahaan, pegawai, dan pihak ketiga tidak disarankan untuk memberikan donasi politik kepada partai politik baik berupa sumbangan langsung ataupun tidak langsung kepada organisasi atau individu yang terlibat dalam kegiatan politik.
3. Investor harus mendorong penerapan pelaporan program antikorupsi yang lebih komprehensif. Investor perlu menyusuan standard pelaporan program antikorupsi sebagai standard pelaporan publiknya agar pengungkapan risiko perusahaan meningkat.
4. Pemerintah perlu mempertimbangkan adanya regulasi yang mengatur program antikorupsi bagi sektor swasta. Keberadaan regulasi dapat menjadi referensi bagi perusahaan untuk melakukan perbaikan regulasi perusahaa agar patuh terhadap regulasi nasionalnya.
5. Organisasi masyarakat sipil harus memiliki kapasitas untuk melakukan pemantauan, pengkajian, dan diseminasi hasil kajian terhadap standard antikorupsi yang dilakukan oleh perusahaaan agar program antikorupsi perusahaan semakin efektif.